Serangkaian Tunggu
by Helena Adriany
Published: August 2010 by Mijil Publisher
Details: Paperback, 110 pages
Isbn13: 9786029690118
Apakah menunggu itu harus jadi kegiatan membosankan? Tidak! Lewat buku puisi ini, Helena memberi makna lain dengan merangkul ketersituasian tunggu itu sebagai peristiwa menyenangkan. Menunggu apa? Terserah, boleh apa saja; menunggu bis, kereta, kekasih, kematian, Tuhan atau apapun. Menunggu – pada suatu ruang, berhitung dengan jarak, berpacu dengan waktu – tentu sudah jadi keseharian hidup. Ihwal menunggu ini tentu menjadi rangkaian berulang sepanjang sejarah manusia, seperti kata Helena dalam‘siluet’: puluhan kali/ aku kejutkan petang ini/ dengan memanggil namamu (hal. 1).Saat menunggu itu pun dijadikannya permainan yang tak lazim: menghardik, mengejutkan waktu atau suasana itu. Dan “petang”, sandaran jiwa tualang para penyair itu, menjadi kredo dalam buku Serangkaian Tunggu ini. Tanpa kebetulan, di petang itu, penyair ini menjadi saksi: saat sang siang menyelinap, memasuki serambi malam; atau kala jemari malam menggamit jemari siang.
Petang itu juga - ‘senja abu-abu’, tulis Helena pada kepingan lain – bisa jadi metafor retaknya hidup. Tak bisa direduksi dalam dualisme Descartesian: siang-malam, terang gelap, atau hitam-putih. Sepenuhnya retak, abu-abu. Mungkin saja penyair ini jengah dengan absolutisme dan fatalisme manusia yang kerap terjebak dalam dikotomi benar-salah, baik-buruk, haram-halal, dsb. Dengan mantap Helena menghidupkan suasana itu dengan kesadaran penuh: sebagai ‘petang’ saja. aku timang hari dalam pelukan/ berbantalkan kesadaran berselimutkan gairah/ terbang gapai barisan burung-burung menjelang petang (hal. 63). Dipeluknya zona abu-abu yang remang, yang temaram itu. Jiwa bebas penyair ini- yang riang oleh barisan terompet nafiri senja - terbang bersama burung-burung yang memasuki gerbang sarang, pulang memeluk anak dan bini/laki. Keterkondisian tunggu justru membuat penyair ini bahagia. Hingga menjadikan tunggu itu sebagai habitus baru yang dikuduskannya. Pun keretakan petang itu ditatap serentak dipeluknya dengan ikhlas: untuk hanyutkan kerinduan/ lampaui batas-batas badai. Menjadi Serangkaian Tunggu diri yang puitik. Melampaui batas-batas permisif manusia dalam menghalau amuk badai kehidupan. Dan petang itu bisa ditarik menjadi kekinian,hic et nunc, merenungkan siang – yang telah lalu (perfectum), dan mengendapkan rencana malam – yang akan datang (futurum), atau ‘waktu kedua’, istilah Hudan Hidayat.
Helena Adriany – yang konon seorang Geofisis – tentu akrab dengan bidang Geologi. Mengakrabi lapisan dan lekuk bumi yang solid seperti gunung, lembah, gurun, samudera, batu, dll. Penyair Helena juga menerima keberadaan vulkanisme alam yang bisa menyemburkan ‘lahar’ problematika hidup: getaran gunung-gunung mengguncang bawah sadar/ hadirkan tanya tak bertuan, sapa tak bermula, lantunkan/ tembang cicak melesak lubang tembok/ … sementara rasa sesak/ hancurkan gunung batu, hadapkan padang gurun berdebu (hal. 103). Disiplin ilmu bumi, geologi – yang sarat interpretasi itu – ditekuknya, dijadikan permenungan akan hakekat kosmos tubuh untuk melawan kesesakan hidup.
Pula latar belakang Geofisika itu menjadikannya dekat dengan disiplin ilmu pasti alam, Fisika. Dengan tekun, penyair ini meletakkan banyak diksi istilah fisika, termasuk dalam empat puisi ‘dentum energi’ hidup di tatakan bahasanya (hal. 34, 48, 49, 64). Dalam puisi lain, penyair – yang kadang ‘riuh dalam senyap‘ ini, menyadari kompleksnya tubuh fisik dunia ini sebagai wahana tak bertepi/ media tak terdeteksi, lantas memberi gaya bagi peredaran/ bahkan bergerak lepas atau bertumbukan (hal. 15). Namun penyair ini tak mau terjebak dalam labirin hidup yang rumit itu. Pada momen menunggu itu, Helena membawa pisau sepi setajam gergaji listrik, memilah gravitasi dalam medan magnet, sambil berteori: apakah waktu berhenti?/…biarkan kekal rotasi pagi menjelang siang/ biarkan kekal siang berganti malam/ … selamat jalan badaiku! (hal. 50).Layaklah bagi siapapun mendapatkan kristal kebahagiaan dalam pengharapannya. Sebab dalam keyakinan, kita yang optimis selalu sepakat: badai pasti berlalu.
Penyair ini memang dikaruniai banyak talenta. Akrab pula dengan cabang filsafat seperti metafisika sampai metodologi keilmuan seperti fenomenologi. Hal itu terlihat dari puisinya yang berjudul ‘realitas’: apakah tidak dan apakah ya/ apakah ilusi dan apakah fakta/ apakah kesunyian dan apakah keramaian/ apakah kebebasan dan apakah tanggung jawab (hal. 106). Helena tidak terjebak dengan dikotomi semata untuk menelisik jejak-jejak kebenaran. Semua entitas itu dibenturkannya. Tangan penyair yang paradoks ini seolah membawa palu dekonstruksi dalam rangkaian tunggunya untuk menghancurkan belenggu lumpuh dan tembok penat: ada godam menghantam dadaku/ berkeras hancurkan keberadaan/…ada kemudaan membongkar waktu/ menjadi ruang acak tanpa sumbu/… apakah yang sesungguhnya merdeka/ bahkan peralihan pun terikat pada energi yang terformulasi (hal. 47). Duh!
Bolehlah di awal milenium ketiga ini kita permaklumkan sebagai kelahiran angkatan sastra-maya, dan Helena menjadi salah satu punggawa kebangkitan kanon baru ini dalam kesusastraan kita. Mengapa pula para profesional seperti Helena ini bangkit membela puisi (yang tak penting?) itu? Aku tak yakin ada dosen di kampus Helena – institut paling terkenal di negeri ini – mengajari mahasiswanya berpuisi. Bahasa itu disadarinya sebagai medium untuk memaknai realitas hidup yang komunikatif. Lantas, dengan dan melalui puisi, bahasa dipersepsi dan dijadikannya sebagai perwujudan akan sublimasi dan transendensi jiwa. Penyair ini tidak mau hanya menjadi hamba sahaya kapitalisme. Memang dia bekerja di salah satu perusahaan oil and gas service paling bonafid di negeri ini. Dalam asumsi banyak orang; akrab dengan kemewahan dan hiburan. Tapi jiwa seni penyair ini tak mampu dikerangkeng oleh hingar-bingar materialisme semata. Sebagai mahluk yang estetis, Helena menyadari hal itu. Dia ingin membenahi hidup lewat seni yang sesungguhnya: lewat puisi-hidup. Sebab keindahan adalah kebaikan dalam eksistensi kemanusiaan kita.
Hampir di seluruh larik puisinya bernada ketegaran, sekokoh batu karang. Dalam kondisi‘sesak’ sekalipun dia memaksimalkan ketegangan/ tanpa sekalipun membaca ujung-ujung beban (hal. 73). Beruntunglah saya pernah berjumpa dengannya. Memang Helena terlalu perkasa berjalan di atas trotoar atau berlari menyeberang jalan menegasi sisi feminin dirinya. Namun dia sangat keibuan untuk satria lanangnya bila kita katakan sangat maskulin. Helena ini – yang belakangan senang “meracau” dalamNotes para sahabatnya – menyukai kata ‘berimbang’. Dan mungkin itulah dirinya. Berimbangnya sisi maskulinum dan femininum dalam tubuhnya yang berjiwa. Uniknya, Helena mengakrabi beragam diksi – istilah genus latin – Neutrum; seperti guntur, hujan, ombak, garis pantai, kilat, air terjun, batas samudera, dll. Dan dalam memandang hidup yang penuh persimpangan pilihan, penyair ini sangat tegas dalam ruang tunggunya: membakar jembatan di belakangnya saat mengambil keputusan.
Rupa-rupanya, ‘serangkaian tunggu’ itu tak melulu gerutu pikiran kebosanan atau kerutan dahi kemurungan. Rangkaian menunggu bisa kita jadikan rangkaian perjalanan mencandra keheningan (einsamkeit), membawa kita berada dalam kedekatan esensial dengan segala sesuatu, kata Heidegger. Dalam keheningan tunggu itu: kita surut ke belakang, mengambil jarak terhadap hiruk dan kutuk kehidupan yang sarat dengan pertarungan kapital dan perburuan kekuasaan. Menunggu bisa dilihat juga kecemasan eksistensial yang menyenangkan, mundur sejenak dari ketergesaan hidup. Pula bisa dijadikan menguji kesabaran atau merengkuh kebebasan yang bertanggung jawab. Penyair ini membuat re-defenisi kata ‘tunggu’ itu bukan sebagai balada monolog yang absurd, atau elegi basa-basi yang redup. Namun digubahnya menjadi serangkaian ‘simfoni’ dan ‘hymne’ spritualitas hidup: “mengubah angan, mendefenisikan kehilangan, menata penciptaan, mengekalkan rindu, menumbuhkan keintiman, memaknai perpisahaan, meniadakan dugaan dan penghakiman, hingga membangun antusiasme dan konstruksi kepedulian”.***
0 comments:
Post a Comment